Kamis, 29 Juli 2010

Sekedar Cerita Bukan Elegi

Bagi kamu yang mengalami luka karena cinta, merasakan pahitnya cinta, ataupun sangat sedih karena merindukan seseorang yang kamu cinta. Mungkin tulisan ini dapat mengobati hati kamu yang sedang sakit. Berikut ini adalah kutipan kisah dari sebuah Novel yang cukup laris dan sudah tidak asing lagi bagi kita. Silahkan dibaca secara keseluruhan, jangan setengah-setengah ya!!!.


Jam beker di kamar Azzam berdering-dering, Fadhil mendengarnya. Ia melihat jam di dinding kamarnya. Jam tiga lebih dua puluh lima. Sejurus kemudian Fadhil mendengar suara beker itu mati, pintu berderit dibuka, dan gemericik suara air di kamar mandi. Tiba-tiba Fadhil merasa iri dengan Azzam. Azzam yang di matanya begitu tegar menghadapi hidupnya. Azzam yang selalu ia lihat bekerja dan bekerja. Ia tak pernah mendengar Azzam berbincang-bincang tentang perempuan.

Setahunya, Azzam tak mengenal perempuan kecuali ketiga adik dan ibunya. Merekalah yang menjadi segala-galanya baginya. Ia ingin seperti Azzam, tapi ternyata ia tidak bisa mengingkari bahwa selain ibunya dan Cut Mala adiknya, ternyata ada Tiara di dalam hatinya. Fadhil bangkit mengambil air wudhu lalu shalat. Hatinya tidak bisa khusyuk, tapi ia tetap shalat. Selesai shalat ia ke kamar Azzam. Azzam sedang membaca kitab Al Hikam.

“Ee kau Dhil, sudah bangun?”
“Bukan sudah bangun Kang, tapi aku memang tidak bisa tidur!”
“Kenapa tidak bisa tidur?”
“Aku mau cerita, tapi tolong ini jadi rahasia di antara kita berdua saja ya.”
“Baik.”
“Begini Kang. Aku sedang menghadapi masalah psikologis yang pelik Kang.”
“Pelik bagaimana Dhil?”

Fadhil lalu menceritakan semuanya. Tentang Tiara yang meminta pendapatnya karena dilamar Zulkifli yang tak lain adalah temannya sendiri di Indonesia. Tentang saran yang ia berikan. Tentang segala perasaan cintanya pada Tiara. Tentang kekecewaan Tiara. Tentang pernikahan Tiara yang akan segera diadakan. Tentang hasil rapat di KMA yang memintanya jadi penanggung jawab acara pernikahan. Tentang dirinya yang harus mendendangkan nasyid di hadapan mempelai berdua. Tentang segala rasa cinta pada Tiara yang membuatnya tersiksa. Tentang kesedihan dan nestapanya yang menyesak dada. Fadhil menceritakan itu semua dengan mata berkaca-kaca.

“Bayangkan Kang, kalau boleh jujur, aku sudah bersimpati padanya sejak mengajarnya di Madrasah Aliyah. Dulu aku tidak merasakannya. Tapi sejak dia tiba di Cairo ini, aku diam-diam sudah merencanakan hendak mengkhitbahnya begitu aku lulus. Aku sangat mencintainya. Namun herannya ketika dia minta saran kenapa aku bisa memberi saran demikian. Kenapa aku sok jadi pahlawan dengan mengutamakan orang lain? Sekarang aku seperti terpanggang oleh api cemburu dan penyesalan yang sangat menyakitkan. Aku harus bagaimana Kang?”

Azzam tersenyum. Entah kenapa mendengar kisah Fadhil ia ingin tertawa, tapi tidak dilakukannya. Ia takut membuat Fadhil semakin tersiksa. Dengan tenang, ia berniat menghibur dan memberikan jalan yang lebih terang kepada Fadhil. Ia menanggapi, “Dhil, Fadhil, masalah yang kau hadapi itu masalah kecil. Tak usah kau besar-besarkan. Nanti semuanya akan baik-baik saja. Ini kebetulan aku baru saja membaca perkataan Imam Ibnu Athaillah yang sangat dahsyat tentang cinta. Dan perkataan beliau ini bisa jadi terapi yang tepat untuk penyakit cintamu. Ya, aku katakan apa yang kau simpan di hatimu itu adalah penyakit.

Cinta sejati itu menyembuhkan tidak menyakitkan.” Dengar baik-baik ya perkataan Ibnu Athaillah, saya bacakan langsung dari kitab aslinya. Beliau mengatakan: “la yukhriju asy syahwata illa khaufun muz’ijun aw syauqun muqliqun! Artinya tidak ada yang bisa mengusir syahwat atau kecintaan pada kesenangnn duniawi selain rasa takut kepada Allah yang menggetarkan hati, atau rasa rindu kepada Allah yang membuat hati merana!”

“Coba resapi baik-baik kata-kata ulama besar dari Iskandaria ini. Kecintaanmu pada Tiara itu syahwat. Hampir semua orang yang jatuh cinta itu merasakan apa yang kau rasakan. Dan perasaan seperti itu tidak akan bisa kaukeluarkan, kauusir dari hatimu kecuali jika kau memiliki dua hal.”

“Pertama, rasa cinta kepada Allah yang luar biasa yang menggetarkan hatimu. Sehingga ketika yang ada di hatimu adalah Allah, yang lain dengan sendirinya menjadi kecil dan terusir. Kedua, rasa rindu kepada Allah yang dahsyat sampai hatimu merasa merana. Jika kau merasa merana karena rindu kepada Allah, kau tidak mungkin merana karena rindu pada yang lain. Jika kau sudah sibuk memikirkan Allah, kau tidak akan sibuk memikirkan yang lain. Karena hatimu miskin cinta dan rindu kepada Allah, jadinya kau dijajah oleh cinta dan rindu pada yang lain. Saat ini yang menjajah hatimu adalah rasa cinta dan rindumu pada Tiara. Itulah yang membuatmu tersiksa Padahal kau sudah tahu kalau dia sudah dilamar dan dikhitbah saudaramu sendiri. Kau harus tahu perasaan seseorang tidak bisa mengubah hukum syariat. Seberapa besar rasa cintamu kepada Tiara dan seberapa besar perasaan cintanya kepadamu, tidak akan mengubah hukum dan status Tiara, bahwa ia telah dikhitbah oleh saudaramu. Apalagi Tiara telah menerimanya.”

“Panitia pernikahan telah ditata. Kau sama sekali tidak boleh merusaknya. Kalau kau mau jadi pahlawan jangan setengah-setengah. Jadilah pahlawan yang benar benar pahlawan, meskipun harus mengorbankan sesuatu yang kau anggap paling berharga. Tidak ada pahlawan yang tidak berkorban apa-apa!”

Kedua mata Fadhil basah mendengar kata-kata Azzam yang membukakan jalan lebih terang baginya. Tapi Tiara masih juga tertulis dengan jelas di hatinya. “Terima kasih Kang. Cinta memang bukan segala-galanya, tapi kehilangan cinta seperti kehilangan segala-galanya.” Azzam tersenyum dan berkata dengan suara pelan,

“Benar. Mencintai makhluk itu sangat berpeluang menemui kehilangan. Kebersamaan dengan makhluk juga berpeluang mengalami perpisahan. Hanya cinta kepada Allah yang tidak. Jika kau mencintai seseorang ada dua kemungkinan diterima dan ditolak. Jika ditolak pasti sakit rasanya. Namun jika kau mencintai Allah pasti diterima. Jika kau mencintai Allah, engkau tidak akan pernah merasa kehilangan. Tak akan ada yang merebut Allah yang kaucintai itu dari hatimu. Tak akan ada yang merampas Allah. Jika kau bermesraan dengan Allah, hidup bersama Allah, kau tidak akan pernah berpisah dengannya. Allah akan setia menyertaimu. Allah tidak akan berpisah darimu. Kecuali kamu sendiri yang berpisah dari-Nya. Cinta yang paling membahagiakan dan menyembuhkan adalah cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”

Mendengar hal itu ada kesejukan yang mengaliri jiwanya. Kesejukan yang membuat hatinya sedikit terhibur dan lega. Jiwanya perlahan mulai menemukan ketenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar